Eks Dirut Perindo Didakwa Korupsi Rp 121 Miliar, Pengacara Pertanyakan Bukti Hitung Kerugian Negara

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menggelar sidang pembacaan dakwaan untuk mantan Direktur Utama Perum Perikanan Indonesia (Perindo), Syahril Japarin, dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan usaha Perum Perindo tahun 2016 2019, Selasa (10/5/2022). Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa dua mantan pejabat BUMN, Syahril Japarin dan Risyanto Suanda mengelola dana serta usaha jual beli ikan yang menyalahi ketentuan. Terdakwa dinilai menguntungkan orang lain serta korporasi antara lain, PT Kemilau Bintang Timur Rp40 miliar dan 279 ribu dolar AS; PT Global Prima Sentosa Rp65 miliar; PT Samudra Sakti Sepakat Rp17,6 miliar; dan Renyta Purwaningrum Rp1,5 miliar.

Jaksa menyebut perbuatan terdakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp121,4 miliar dan 279 ribu dolar AS dari total keseluruhan kerugian negara Rp 176 miliar dan 279 ribu dolar AS. Jaksa menjerat kedua terdakwa dengan dakwaan subsidaritas melanggar Pasal 2 subsider Pasal 3 Undang Undang Tipikor. Atas dakwaan ini, kedua terdakwa melalui tim penasehat hukum masing masing menyatakan bakal mengajukan eksepsi pada sidang berikutnya yang digelar Selasa, 17 Mei 2022.

Kuasa hukum mantan Dirut Perindo, Syahril Japarin, Maqdir Ismail menilai dakwaan jaksa keliru karena kliennya menjabat sebagai Dirut hanya hingga tahun 2017. Sementara dakwaan korupsi yang disampaikan jaksa terjadi di rentang 2016 2019. Syahril Japarin menjabat sebagai Dirut Perum Perindo periode 11 Januari 2016 11 Desember 2017, berdasarkan Keputusan Menteri BUMN Nomor SK 04/MBU/01/2016.

“Dakwaannya kan dia dari 2016 sampai 2019. Pak Syahril berhenti 11 Desember 2017, itu sebenarnya inti yang ingin kita sampaikan dalam eksepsi," ungkap Maqdir usai persidangan. Terkait kerugian negara sebagaimana dakwaan jaksa, pihaknya meragukan dan menanyakan balik laporan hasil penghitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang tak dilampirkan dalam surat dakwaan. Ia menegaskan bahwa menaksir kerugian negara harus sesuai aturan sebagaimana putusan MK Nomor 21 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa kerugian harus nyata dan pasti.

“Ini kan mereka sebut dalam surat dakwaan potensi dapat merugikan keuangan negara. Kalau dapat itu kan belum tentu rugi, apalagi nyatanya masih ada piutang. Yang sebenarnya di dalam buku dianggap sebagai piutang. Piutang itu kan soal tertagih atau tidak," jelas dia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *